Rabu, 25 Juni 2014

KEDAULATAN RAKYAT UNTUK KEDAULATAN NEGARA


KEDAULATAN RAKYAT UNTUK KEDAULATAN NEGARA DAN KEDAULATAN ENERGI: REVISI PERJANJIAN INTERNASIONAL ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN NEGARA-NEGARA SEKUTU DENGAN BERAZASKAN KEDAULATAN RAKYAT YANG BERKEADILAN SOSIAL

Riyan Sumindar,
Lembaga Studi Teritorial
Latar Belakang
Membahas mengenai urusan energi, tampaknya saya tidak memiliki ruang yang memadai untuk memberikan penjelasan secara teknis operasional. Namun, dari perjalanan yang selama ini ditempuh, ada berbagai hal yang ingin disampaikan kepada publik, dimana banyak tabir yang menutup pemahaman kita semua, yang selama ini dianggap sebagai bagian dari permainan atau kepentingan kekuasaan yang dibungkus oleh selimut sejarah palsu. Semua catatan sejarah pada saat itu, ditulis berdasarkan kepentingan penguasa atau sekelompok orang-orang yang berkuasa, namun rakyat yang menjalani proses-proses sejarah tampaknya menulis di dalam sebuah catatan kecil, diperbincangkan di rumah-rumah, dibahas dalam pertemuan-pertemuan terbatas, dimana ada upaya untuk mencoba menggali, memahami, dan mempertemukan serpihan-serpihan dari berbagai sudut pandang rakyat pada umumnya.
Penguasa, atau orang-orang yang menjalankan kekuasaan baik itu di legislatif dan eksekutif, tampaknya lebih nyaman untuk melakukan segala sesuatu seperti biasanya (business as usual). Hampir seluruh birokrasi, anggota dewan baik di pusat maupun di daerah, tidak pernah mencoba memahami tujuan-tujuan Negara secara utuh, yang dilakukannya adalah hanya sebatas menjalankan perahu Negara Republik Indonesia ini sebisa-bisanya, tanpa ingin memaknai apa sesungguhnya yang ingin dicapai oleh Bangsa Indonesia ini.
Persoalan-persoalan kebangsaan yang tengah kita hadapi tampaknya semakin kompleks. Seluruh elemen anak-anak bangsa, sudah seharusnya mengambil peran-peran kenegarawanan yang saat ini hampir tidak tampak dalam pelbagai upaya penyelesaian persoalan kebangsaan ini.
Pemerintah Republik Indonesia, DPR-RI, MPR-RI, DPD-RI, berbagai Komisi Negara (Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemilihan Umum), Mahkamah Konstitusi, dan seluruh kementrian/badan Pemerintah, berusaha keras menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat yang sesungguhnya merupakan persoalan-persoalan yang tampak di permukaan saja, bukan menyelesaikan dasar persoalan bangsa.
Banyak hal yang telah dilakukan Pemerintah Republik Indonesia selama ini, upaya pengentasan kemiskinan, perbaikan kualitas pendidikan dan kesehatan, perbaikan kualitas pelayanan publik dan reformasi birokrasi, meningkatnya kesempatan kerja dan investasi di berbagai bidang, upaya pemberantasan korupsi, peningkatan transparansi anggaran, peningkatan kualitas dan kapasitas aparatur negara.
Di sisi lain, tampaknya berbagai hal yang belum dicapai antara lain belum meratanya tingkat kesejahteraan rakyat, masih banyak rakyat yang tidak mendapatkan akses air bersih, listrik, komunikasi, pendidikan dan kesehatan yang layak, ketimpangan pendapatan yang semakin melebar antara rakyat yang kaya dan miskin, ketimpangan keadilan bagi rakyat dan bagi pejabat publik, ketimpangan sosial dan budaya, dan masih banyak pekerjaan rumah bangsa Indonesia ini yang harus kita selesaikan bersama.
Persoalan Mendasar
Lembaga Studi Teritorial (LST) memandang selain persoalan-persoalan yang tampak di permukaan tadi, bahwa salah satu persoalan mendasar bangsa Indonesia ini adalah Republik Indonesia masih terikat dengan perjanjian-perjanjian internasional, khususnya dengan Negara-negara Sekutu.
LST memandang bahwa Ibu Pertiwi telah melahirkan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang dimakamkan disini sebagai tanah tumpah darah kita semua dan jiwa-jiwanya berada dalam dada setiap anak bangsa, tidak tergantikan oleh kemerdekaan semu berupa penyerahan kedaulatan pada sebuah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang merupakan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 27 Desember 1949.
Butir-butir kesepakatan KMB antara lain: 1) Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan RIS dalam konsep parlementer, khusus soal Irian Jaya akan dibahas dalam waktu 1 (satu) tahun; 2) RIS harus membayar sejumlah biaya akibat peperangan 1945-1949; 3) Tentara Belanda yang tidak kembali menjadi bagian tentara RIS, dimana jabatannya naik dua tingkat dan tentara Republik Indonesia diturunkan jabatannya dua tingkat. Pada tahun 1956, lahir UU No 13/56 yang menolak hasil KMB secara sepihak.
Pada November 1967, Suharto mengirim sebuah tim (yang kemudian disebut sebagai Mafia Berkeley) ke Genewa, Swiss, bertemu dengan para pemimpin Yahudi Internasional. Pemerintah Amerika Serikat menyebut prosesi kejatuhan Sukarno dan penempatan Suharto sebagai “The Biggest Gift”, yang hasilnya adalah Indonesia dibagi-bagi. The Time Life Corporation mensponsori pertemuan khusus ini, yang dilakukan selama tiga hari dalam mendesain “upaya pengambil-alihan Indonesia”.
Disertasi doktoral Brad Sampson dari Universitas Nortwestern, Amerika Serikat, yang mengeksplorasi fakta-fakta sejarah Indonesia dalam permulaan Orde Baru. John Pilger dalam bukunya The New Rulers of The World, mengutip pernyataan Sampson sebagai berikut:
“On November 1967, following to the catching of “The Biggest Gift” (US government’s term to the collapse of Bung Karno and replaced by Suharto), the results were divided. The Time Life Corporation sponsored a special conference in Geneva, Switzerland, which in only three days designed Indonesian’s take over.
The attendants were from the most influence capitalist in the world, people like David Rockefeller. All the western giant corporation were represented by bank and oil company, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, Chase Manhattan, etc.”
Across the table, there sat Suharto’s men—named by Rockefeller and other Jewish businessmen as corrupt Indonesian economist. In Geneva, Indonesian Team were known as The Berkeley Mafia as some of them given a scholarship from US government to study in California University in Berkeley. They came as a beggar conveying what their boss wanted. They offered the points from their nation and people; a cheap and abundant labor, plentiful resource and its spare, dan wide market.”
In the second day, the Indonesian economist had been divided into sectors. They divided into five sections; mining in one room, services in other room, minor industry in other room, banking and monetary in the next room; which was done by Chase Manhattan sitting with a delegation dictated policies which could be accepted by anther investors. These huge corporation leaders walks from one table to another, saying, ‘This is what we want, that is what we want, this, this, and this.” They basically designed a law infrastructure in investing their capital—which also surely gave them its benefits. I had never heard that sort of situation before, where global capitals sat with the representation from a self-governing country and designed condition terms to give freedom investment to their own region.”
Freeport got copper mount in West Papua (Henry Kissinger, American-Jewish businessman as Commissioner Board). A European consortium acquired Nickel in also West Papua. The giant Alcoa obtained the biggest from Indonesian bauxite. A group of American, Japan, and French company contracted tropical jungles in Kalimantan, Sumatera, and West Papua.”
Pada tahun 1967, lahir berbagai UU terkait penanaman modal asing, dimana Kontrak Karya Freeport dimulai pada 1967 melalui UU No 11 tahun 1967 tentang ketentuan pertambangan untuk masa 30 tahun. Belum genap 30 tahun, Kontrak Karya Freeport diperpanjang pada tahun 1991 yang berlaku untuk 30 tahun ke depan (pada 2021), dengan opsi perpanjangan dua kali masing-masing 10 tahun (atau maksimal pada 2041).
Potret ini hanya salah satu akar persoalan bangsa Indonesia, sesungguhnya kita masih terbelenggu oleh perjanjian-perjanjian pasca KMB, yang belum bisa dibebaskan sepenuhnya. Pertanyaannya sampai kapan kita sebagai bangsa merdeka tetapi sesungguhnya belum berdaulat penuh dalam hal pengelolaan sumberdaya alam yang superkaya ini. Rakyat kita tidak perlu miskin.
Presiden Republik Indonesia belum lama ini sudah mengajukan berbagai upaya untuk melakukan negosiasi dan revisi perjanjian-perjanjian internasional yang terkait Negara-negara sekutu. Namun hingga saat ini tidak ada realisasinya, Pemerintah RI akan berkilah bahwa kami sedang melakukan upaya-upaya yang seharusnya dilakukan, tetapi sesungguhnya Pemerintah RI saat ini tidak dapat sungguh-sungguh merealisasikan upaya revisi perjanjian-perjanjian tersebut. Persoalannya sederhana saja, Pemerintah RI saat ini tidak mendapat kepercayaan penuh dari rakyatnya dan tentu tidak mendapat kepercayaan dari Negara-negara sekutu. Belum lagi, tingkah laku para pejabat Negara dan para wakil rakyat di DPR yang semakin tidak mendapat simpati dari rakyat. Inilah saatnya kita, rakyat Indonesia kembali berdaulat.
Untuk itu kalau kita merujuk kembali kepada tujuan bernegara, tentunya sederhana saja yaitu Republik Indonesia ini merupakan Negara merdeka dan berdaulat yang didasari oleh kedaulatan rakyat. Dan Negara berkewajiban memberikan rasa aman pada rakyat, mensejahterakan rakyat.
Kedaulatan Rakyat untuk Kedaulatan Negara dan Kedaulatan Energi
Melihat perilaku elit politik kita, tampaknya kita sepakat bahwa sesungguhnya apa-apa yang dilakukan para pimpinan Negara baik di pusat dan di daerah sungguh tidak mencerminkan keberpihakan secara nyata kepentingan untuk mensejahterakan rakyat. Seluruh anggaran dimanipulasi baik dari sisi penerimaan dan belanja, seolah-olah dibuah untuk kepentingan rakyat, padahal di dalamnya terdapat kesepakatan-kesepakatan yang rakyat tidak pernah mengerti siapa penerima manfaat secara langsung porsi anggaran Negara itu. Desas desus secara terbuka, bahwa anggaran Negara sebagian dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan partai politik, dimana dalam berbagai kasus akhirnya terungkap peran sebagian pimpinan partai politik sedemikian, sehingga dapat mempengaruhi keputusan-keputusan di wilayah eksekutif.
Demokrasi yang dijalankan saat ini, memberikan ruang yang besar bagi rakyat untuk menentukan pimpinan-pimpinan yang dianggap representative untuk duduk sebagai anggota dewan baik di pusat maupun di daerah, demikian pula penyelenggaran pemilihan langsung Presiden/Wakil Presiden dan kepala daerah/wakil kepala daerah di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota, dinilai sebagai suskes besar dari sisi partisipasi politik, dimana rakyat memberikan suaranya dalam setiap pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.
Namun persoalannya tidak berhenti disitu, persoalan kemudian muncul ketika para anggota dewan baik di pusat dan di daerah sama-sama tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang utuh mengenai status Negara Republik Indonesia ini, dikiranya Negara Republik Indonesia sudah benar-benar merdeka dan berdaulat. Apakah para pimpinan Negara ini sadar terhadap posisi Negara saat ini, siapa yang mengendalikan kebijakan yang sesungguhnya di Negara ini. Apakah sadar para pimpinan Negara ini termasuk TNI dan Polri, masih menunjukkan kebanggaan tatkala ada perintah atau pesanan dari isu-isu yang digulirkan para pimpinan Negara-negara asing di wilayah kita, termasuk isu terorisme, isu energi, isu pangan, isu moneter dan keuangan.
Semua itu disadari atau tidak merupakan belenggu aktif bagi kedaulatan rakyat Indonesia sesungguhnya. Para eksekutif di Negara ini seenaknya menentukan kuota impor beras, dengan membandingkan kebutuhan beras per kapita dan jumlah produksi padi secara nasional, ketika dilihat adanya kekurangan untuk memenuhi kebutuhan beras nasional, dengan mudahnya kita segera mengambil keputusan untuk melakukan impor beras. Demikian pula yang terjadi dengan impor daging, impor bahan pangan lainnya, dan hal ini juga terjadi pada urusan energi kita. Para pakar energi jelas-jelas mempresentasikan, bahwa cadangan migas kita kalau dikelola seperti ini tidak lebih dari 20 tahun akan habis, dan kita akan menjadi Negara pengimpor utama dari kebutuhan energi nasional. Apa yang terjadi jika itu sebagian besar anak-anak bangsa ini mengalami kekurangan energi, tentu kerusuhan akan terjadi dimana-mana. Apakah ini yang ingin dicapai oleh seluruh anak bangsa termasuk para pimpinan Negara, termasuk TNI dan Polri.
Para pemimpin bangsa ini apakah masih mampu mengelola Negara ini, atau memang tengah menjadi broker utama dari kepentingan korporasi internasional dan kepentingan Negara-negara sekutu. Sampai kapan kita sebagai rakyat yang berdaulat dapat mengelola kekayaan sumberdaya alam ini untuk sepenuhnya menjadi bagian dari upaya kemakmuran rakyat. Sampai kapanpun, ketika kita tidak melepaskan diri secara politik dari perjanjian-perjanjian internasional, yang mengikat secara hukum internasional, maka setiap menjadi pimpinan Negara biasanya akan disodorkan berbagai cetak biru perjanjian-perjanjian yang kita sendiri tidak bisa memutuskan secara sepihak, dibutuhkan kedaulatan rakyat yang utuh untuk dapat melepaskan seluruh belenggu yang mengikat Negara Republik Indonesia ini yang dapat diselesaikan secara politik tanpa pertumpahan darah.
Diperlukan kejujuran semua pihak, termasuk para pimpinan Negara baik di DPR, Presiden, dan pimpinan TNI dan Polri untuk jujur terhadap bangsa ini, untuk terbuka terhadap bangsa ini, untuk siap membuka tabir-tabir yang tertutup, agar bangsa ini benar-benar memahami dasar persoalan bangsa Indonesia ini, untuk menjadi bagian dari upaya membangun peradaban baru Indonesia dalam suasana kemerdekaan sejati Republik Indonesia yang dipenuhi oleh hati dan jiwa yang suci berasaskan kedaulatan rakyat dan berkeadilan sosial.***

ARTIKEL TERKAIT:

0 komentar:

Posting Komentar

 

Laba Laba Kota. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com